Makassar - Rumahrakyat.news - Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan, Prof. Andi Muhammad Asrun, menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tenggat waktu pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah telah melampaui wewenangnya. Menurutnya, penetapan waktu pelaksanaan Pemilu bersifat sangat teknis dan seharusnya berada dalam yurisdiksi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"KPU sangat paham tentang mekanisme kepemiluan dan kewenangannya telah diatur dalam undang-undang, yakni UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum juncto UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1/2015," kata Prof. Asrun dalam keterangan tertulis kepada Pro 3 RRI pada Rabu (9/7/2025).
Menurut Prof. Asrun, MK seharusnya mendengarkan dan mempertimbangkan keterangan KPU RI sebagai pihak terkait dalam pemeriksaan pengujian UU No. 7 Tahun 2017 dan UU No. 8 Tahun 2015. Keterangan KPU, sebagai penyelenggara Pemilu, dinilai sangat krusial dalam memahami dinamika teknis pelaksanaan.
Ia juga menyoroti bahwa MK tidak memberikan porsi perhatian yang cukup terhadap keterangan pemerintah dan DPR RI dalam uji materi tersebut. Padahal, keterangan dari kedua lembaga ini penting untuk mengkaji lebih mendalam permohonan pemohon untuk memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah.
Asrun melanjutkan, pemisahan Pemilu DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden dengan tenggang waktu 2 sampai 2,5 tahun untuk penyelenggaraan Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dan DPRD, sudah disampaikan DPR akan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.
Menurutnya, MK dalam putusannya telah mengubah materi Pasal 22E UUD 1945. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali."
Sementara itu, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Asrun menegaskan bahwa penundaan pelaksanaan Pemilu daerah 2 sampai 2,5 tahun setelah Pemilu nasional mengindikasikan MK tidak mempertimbangkan materi muatan konstitusi dan praktik ketatanegaraan di Indonesia.
Secara tegas, lanjut Asrun, putusan MK tersebut dapat dikatakan melawan ketentuan Pasal 22E UUD 1945. "Putusan tersebut memberi pelajaran kepada kita semua, terutama DPR dan Presiden, untuk menata ulang kewenangan MK melalui revisi undang-undang," ucapnya.
Revisi UU MK ke depan, menurut Prof. Asrun, juga harus mengatur mengenai wewenang lembaga pengusul hakim MK untuk menarik hakim apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan fungsinya. Hal ini bertujuan untuk memastikan akuntabilitas dan profesionalisme hakim. (*)
"Kita berharap ke depan Hakim MK betul-betul penjelmaan seorang Negarawan. Hakim yang membuat sebuah putusan untuk kepentingan bangsa dan negara," tutup Prof. Asrun.
